Thankfull My Friend


Thankfull My Friend
[Cerita terinspirasi dari orang lain]

               Cakka Nuraga dulunya bukanlah seorang pembolos atau penggemar rokok dan minuman keras. Bukan juga tipe yang senang melawan orang tua dan ngebut ngebutan dijalan. Cakka dulunya siswa yang cukup berprestasi dengan keahlian permainan futsal dan perhitungan matematikanya, dulunya ia disenangi siapapun karena keramahannya.
               Semuanya berawal dari seorang teman yang ia temui dibelakang sekolah yang bernama Sion dan kedua teman lainnya, Riko dan Septian. Cakka ingat betul, Sion adalah langganan ruang BP karena banyak kasus. Ketiga orang yang tengah menyesap rokok yang terapit di kedua jari mereka masing-masing itu menegur Cakka dengan bersahabat, membuat Cakka mau tidak mau membalasnya. Tau-tau ia seolah merasa tergoda untuk berada diantara orang-orang itu ketika mereka dengan perhatiannya menanyakan apa yang membuat Cakka kesitu karena yang mereka tau Cakka adalah siswa yang tidak terlalu sering kebelakang sekolah.
               Tanpa rasa janggal sedikitpun, sebuah cerita keluar dari mulut Cakka.  Cerita tentang sebuah keluarga yang bukan seperti keluarga, tentang bagaimana umpatan dan caci maki yang dilontakan satu sama lain dari ibu dan ayahnya, dan tentang puncak perkelahian mereka yang terjadi tadi pagi. Dimana ayahnya memukul keras ibunya hingga meninggalkan darah kecil disudut bibir ibunya hingga akhirnya ibunya pergi sambil menyeret sebuah koper besar berisi seluruh pakaiannya menjauhi kediaman mereka.
               Lalu dengan uluran tangan, ketiga orang itu berhasil menarik Cakka kedalam kehidupan mereka. Uluran tangan yang akan membawa Cakka pada sebuah kehancuran dalam hidupnya.
***
Keributan diruang kelas X-B berakhir ketika Pak Duta, guru mata pelajaran Ekonomi, memasuki kelas. Begitu tiba dimeja guru beliau langsung membuka buku absen dan menyebutkan nama muridnya satu persatu hingga tiba pada nama, “Cakka Kawekas Nuraga”.
Hening.
“Cakka ada?” ulangnya lagi.
“Absen, Pak,” sahut Gabriel.
“Eh, padahal tadi aku ketemu di parkiran. Ada kok,” timpal Keke.
“Cakka Nuraga, 12 kali alpa, 5 kali bolos bulan ini,” ujar Pak Duta sambil membaca buku absen kelas mereka, “saya akan minta wali kelas kalian untuk memanggil orang tuanya”.
               Sementara di waktu yang sama, dibelakang sebuah terminal bus, suara cat semprot bersahutan menghujani sebuah tembok yang mulanya berwarna putih dan bersih. Cakka dan ketiga temannya membuat graffiti asal-asalan mereka disitu dengan gambar utama sebuah tulisan FUCK yang sangat besar. Pekerjaan yang sudah mereka lakukan selama setengah jam itu belum dilihat siapapun. Senyuman tak habisnya terukir dibibir mereka seolah mendapat kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
               “Woy!”
               Keempat sekawan itu terlonjak kaget dan bersamaan menoleh ke sumber suara. Seorang pria gemuk berpakaian ala satpam tengah memandang mereka dengan garangnya. Sedetik kemudian mereka sudah tunggang langgang meninggalkan satpam yang tengah memandang graffiti buatan mereka yang cukup bagus—namun tetap saja merusak— itu dengan wajah kesal.
***
Cakka mengendap-endap masuk rumah setelah berhasil memasukkan motornya ke garasi tanpa suara sedikitpun. Jam sudah menunjukkan pukul setengah duabelas malam dan ia yakin kakaknya sudah tertidur. Ayah Cakka seringkali lembur kerja dan Ibunya kabur dari rumah setelah bertengkar dengan Ayahnya. Sepertinya ibunya pergi kerumah nenek Cakka. Jadi ia dirumah hanya bersama kakaknya, Alvin, yang sedang menduduki bangku kuliah jurusan Hukum.
Ketika sudah diruang keluarga, tiba-tiba lampu menyala. Cakka langsung dapat melihat Alvin yang berdiri didekat sakelar lampu dan menatapnya tajam.
“Darimana?” Tanya Alvin.
Cakka hanya diam. Ia tidak berani melawan Alvin meski diluar sana banyak adik yang seringkali melawan kakaknya sendiri. Alvin adalah sosok yang menjadi figur Ayah sekaligus Ibu baginya. Sejak SD, Cakka selalu menginginkan dirinya seperti Alvin yang sangat berprestasi dan sering mengikuti olimpiade diberbagai bidang. Sampai saat ini, keinginannya itu tetap ada meskipun saat ini ia sangat berantakan.
Cakka dapat merasakan Alvin mendekat kearahnya dan dengan satu ayunan tangan, pipi Cakka mendapat bogem mentah.
“Gue dapat surat dari sekolah lo dan ini sudah merupakan panggilan kedua. Besok gue pasti datang dan gue harap itu terakhir kalinya gue dipermalukan didepan  guru lo. Setelah keroyokan ngehajar satpam sama kedapatan bawa minuman keras kesekolah, panggilan apalagi ini? Capek tau nggak ngehadapin kelakuan lo yang kayak gini. Makin lama makin brutal, kayak nggak punya masa depan. Lo dulu nggak gini, Cakka. Mana adik gue yang dulu? Demi apapun, gue udah kecewa banget sama lo,” suara Alvin merendah. Ia sudah merasa cukup lelah dengan tugas dan kegiatan dari kampusnya. Justru malah ditambah dengan kasus adiknya sendiri. Saat pertama kali Cakka dipanggil kesekolah, Ayah mereka menyerahkan urusan apapun tentang Cakka padanya.
Alvin melangkah kekamar meninggalkan Cakka yang terdiam sendirian. Baru kali ini Alvin berbicara sebanyak ini pada Cakka bahkan sampai memukulnya. Beberapa kali sebelumnya saat Cakka memiliki masalah, Alvin tidak banyak bicara.
Cakka menyentuh pipinya yang ia rasa akan meninggalkan sedikit memar. Sakit. Tapi rasa sakit itu tak seberapa ketika ia merasakan rasa sakit yang lebih pada hati kecilnya. Ucapan Alvin terngiang-ngiang dikepala Cakka seolah seperti kaset rusak yang selalu mengulang bagian yang sama. Bagian akhir dari kalimat Alvin, gue kecewa banget sama lo.
***
               Cakka memandang keluar jendela mobil. Dibelakang stir, Alvin tampak serius memerhatikan jalan. Tadi pagi Alvin melarang Cakka membawa motor kesekolah karena ia yang akan mengantar-jemput Cakka hari itu. Pagi tadi, mereka beriringan memasuki sekolah Cakka dan berpisah ketika Alvin sudah tiba dikantor guru. Entah berapa lama Alvin berada disana yang jelas Cakka tidak berani membolos hingga menimbulkan pertanyaan yang ia rasa sangat menyebalkan dari teman temannya seperti, “Cakka tumben sekolah”. Untung saja hari itu tidak ada pesan dari Sion, Riko atau Septian yang mengajaknya pergi. Saat jam pulang, ia sudah mendapati mobil Alvin didepan gerbang dan disinilah mereka saat ini. Tapi sejak 5 menit yang lalu saat mereka meninggalkan sekolah, Alvin tak berbicara sedikitpun.  Membuat Cakka enggan pula berbicara sedikitpun meski ada sebuah pertanyaan yang sangat ia ingin tanyakan. Pertanyaan yang memenuhi kepalanya ketika ia menyadari ini bukanlah jalan menuju rumahnya.
               10 menit perjalanan ketika mereka memasuki sebuah pekarangan rumah minimalis . diteras rumah itu Cakka melihat seorang anak perempuan dan anak laki-laki yang sepertinya seumur dengannya. Kedua orang itu memandang mobil mereka heran dan beberapa detik kemudian mereka tersenyum setelah Alvin keluar dari mobil dan berjalan kearah mereka tanpa mengajak Cakka. Alvin terlihat berbincang sedikit dengan kedua anak itu lalu kemudian masuk rumah tersebut sendirian.
               Cukup lama Cakka menunggu didalam mobil, namun Alvin tak juga keluar. Merasa bosan, akhirnya Cakka keluar mobil membuat kedua orang itu memandangnya heran. Dipandang seperti itu Cakka jadi risih dan berjalan kearah mereka dengan ragu berniat menanyakan Alvin.
               “Adiknya Kak Alvin ya?” Tanya anak laki-laki itu.
               “Iya deh kayaknya, Ray. Mirip banget sama Kak Alvin, sama yang diceritain Kak Alvin,” timpal si anak perempuan.
               Cakka hanya mengangguk kecil, “dimana Kak Alvin?”
               “Didalam sama Kak Rio. Oh iya, aku Oik,” anak perempuan itu—Oik menjulurkan tangannya berniat salaman, lalu dibalas oleh Cakka.
               “Aku Ray,” gentian anak laki-laki itu yang mengajak Cakka bersalaman.
               “Ngapain emang?” Tanya Cakka setelah selesai menyalami Ray.
               Oik mengangkat bahu, “aku kira Kak Alvin sendirian. Kayaknya sih bakal lama. Sini aja deh main sama aku sama Ray,” Ajak Oik riang.
               Cakka hanya menggeleng dan duduk didekat mereka. Ia lalu mengeluarkan ponsel nya dan tenggelam dalam barang canggih itu tanpa memedulikan Oik dan Ray lagi.
***
               Pagi itu Alvin terlihat tergesa gesa menuruni tangga. Jam kuliahnya pukul 7 sementara sekarang sudah jam 6 lewat 56 menit. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melewati ruang makan. Tiga gelas berisi susu dan tiga piring tersusun diatas meja dengan dikedua piring terlihat masih utuh setangkup roti selai kacang dan susu yang masih terisi penuh digelas. Sementara di satu piring lainnya hanya ada sepotong kecil roti tersisa seperti bekas gigitan dan beberapa biji anggur, serta gelas yang sudah kosong.
               Alvin sempat berpikir heran. Itu adalah susunan sarapan ala Ibunya. Siapa yang menyiapkan segalanya itu? Ibunya? Mustahil. Ibunya bahkan sudah tidak menghubungi mereka dua bulan ini. Ayah? Ayahnya baru tadi malam berangkat keluar daerah untuk urusan bisnis. Cakka? Apa itu Cakka? Lagipula hanya Cakka yang selama ini selalu sarapan diakhiri dengan memakan anggur. Apa maksudnya melakukan ini?
               Alvin tak ingin ambil pusing. Ia lalu mengambil  roti di salah satu piring itu dan membawanya pergi.
               Disekolah, Cakka menyusuri jalan setapak kebelakang sekolah. Ia baru saja  mendapat pesan dari Septian yang menyuruhnya membelikan dua bungkus rokok untuk mereka sebelum tiba disekolah dan mengantarkannya pada mereka yang menunggu dibelakang sekolah.
               “Lama amat, bro,” kata Riko sekedar berbasa-basi sambil mengambil rokok yang diserahkan Cakka.
               Setelah itu Septian, Riko dan Sion dengan wajah sumringah menyalakan api pada masing-masing rokok mereka lalu menyesapnya dengan penuh kenikmatan.
               “Lo enggak?” tawar Riko sambil memberikan sebatang rokok lagi pada Cakka sementara dalam hatinya berkata, nggak usahlah si Cakka. Buat gue aja.
               Tanpa mereka duga Cakka yang malah menolaknya. Ia menepis pelan tangan Riko, “lagi nggak mood gue”.
               Tidak ambil pusing, ketiga orang itu kembali sibuk dalam dunia mereka dan besenda gurau tanpa memedulikan Cakka lagi. Merasa bosan Cakka lalu beranjakdari duduknya, “gue balik kekelas. Jam pertama ada ulangan,” katanya lalu langsung pergi begitu saja meninggalkan ketiga temannya yang acuh tak acuh.
               “Yang penting udah dapat rokok gratis. Besok-besok minta beliin minuman aja, atau obat. Dia kan enak dikadalin,” ujar Septian sambil cengengesan ketika Cakka sudah tak terlihat dari pandangan mereka.Riko dan Sion mengangguk menyetujuinya.
***
               Sore itu Cakka sedang uring-uringan dikamar. Padahal jika sedang tidak ada kerjaan ia akan ke kos-kosan Sion atau kerumah Septian lalu pergi ke  rental PS. Tapi rasanya kali ini sangat malas bertemu mereka. Hingga akhirnya pintu kamar Cakka tiba-tiba terbuka. Alvin berdiri di ambang pintu  dengan pakaian yang bisa dibilang cukup rapi.
               “Ikut gue kalo nggak ada kerjaan. Gue tunggu diluar. 5 menit nggak turun, gue jalan duluan,” dan Alvin langsung pergi begitu saja.
               Cakka melongo. Ada apa dengan kakaknya hari ini? Memangnya mau pergi kemana? Ah, bodo amat. Daripada mati bosan dirumah, batin Cakka. Ia bangkit dari tempat tidur dan menuju lemari mengganti pakaian rumahnya dengan pakaian yang lebih pantas dibawa keluar.
               Belum 5 menit, Cakka sudah duduk manis didalam mobil Alvin, dan tak lama kemudian mereka pergi meninggalkan rumah yang terbilang terlalu besar untuk ditinggali hanya dua orang.
               Cakka ingat, ini adalah jalan menuju rumah waktu itu. Rumah yang waktu itu ada anak laki-laki dan anak perempuan diterasnya.  Namun Cakka tidak ingat siapa nama mereka.
               Benar saja, mobil Alvin memasuki pekarangan rumah itu lagi dan lagi lagi kedua anak itu ada sedang berada diteras dan memandang mobil Alvin. Cakka merasa déjà vu ketika Alvin keluar mobil tanpa mengajaknya. Namun Cakka tak menunggu lagi. Ia ikut keluar mobil dan beriringan berjalan bersama Alvin, “ngapain sih?” Tanya nya.
               “Ngasih lo teman,” jawab Alvin sekenanya. Jawaban yang menurut Cakka sangat aneh.
               “Lo disini aja sama mereka,” kata Alvin ketika mereka sudah tibaa diteras. Cakka menghentikan langkahnya sementara Alvin masih terus berjalan memasuki rumah.
               “Hai, Cakka,” sapa Oik riang, disahut senyum tipis hampir tak kelihatan dari Cakka.
               “Sini yuk,” ajak Oik masih dengan keriangannya.
               Cakka menghampiri Ray dan Oik dan duduk diantara mereka, “ngapain?” tanyanya. Oik dan Ray tengah terlihat sibuk membentuk ruangan-ruangan didalam sebuah miniature rumah yang terbuat dari Styrofoam. Oik sedang merekatkan lem pada beberapa barang rumah tangga yang berukuran kecil seperti meja, kasur, lemari dan yang lainnya. Setelah itu barulah Ray yang memasangkannya pada miniature rumah tersebut. Sesekali Oik mengarahkan Ray ketika Ray tidak meletakkan barang-barang mini itu tidak sesuai dengan keinginannya.
               “Bikin rumah-rumahan buat adiknya Oik,” jawab Ray tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah jam dinding yang hanya seukuran kuku jari telunjuk yang akan ia temple disebuah ruangan yang sepertinya adalah kamar. Kamar bernuansa pink.
               “Lo punya adik?” Tanya Cakka pada Oik karena sampai sekarang ia tak melihat ada seseorang yang terlihat lebih muda dari Oik disekitar rumah itu kecuali Ray. Bahkan sepertinya Oik lah yang lebih muda dari Ray.
               “Iya, namanya Zahra. Dia hebat loh. Nanti aku sama Ray mau samperin habis kelar ini. Mau ikut?” Mata Oik terlihat berbinar ketika menceritakan sosok Zahra itu, “ikut aja deh ya. Kamu nggak bakal nyesel,” senyum Oik mengembang. Lalu ia kembali berkutat pada lem nya tanpa memedulikan tatapan bingung Cakka.
               “Guee bantuin biar cepet kelar,” kata Cakka akhirnya setelah beberapa menit hanya memerhatikan pekerjaan Ray dan Oik. Ia meraih lem dan membantu Oik merekatkan lem di barang-barang mini mereka.
               Tidak terasa sudah setengah jam dan pekerjaan mereka sudah rampung. Sebuah miniature rumah berwarna pink dengan dua lantai. Dinding didepan rumah itu bisa dilepas agar dapat melihat isinya. Ada ruang keluarga, ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan sebuah ruangan lagi berisi sebuah piano dan microphone. Saking asiknya Cakka membantu Oik dan Ray ia melupakan Alvin yang meninggalkannya begitu saja, Alvin bahkan tak terlihat keluar rumah.
               Cakka tersenyum puas melihat miniature rumah itu, lalu ia menoleh pada Oik dan mendapati Oik sedang tersenyum tak kalah puasnya dengan Cakka.
               “Mumpung masih jam empat, samperin Zahra yuk?” ajak Ray menyadarkan Oik yang sejak tadi tak berkedip memandang karya mereka.
               Tanpa menghilangkan senyumannya, Oik mengangguk. “Cakka ikut, kan?” Tanya nya.
               “Eh? Boleh deh, kemana emang?” kata Cakka terlihat mulai tertarik.
               “Ada deh. Tapi kita naik sepeda sih. Kamu pakai sepeda aku aja, nanti aku sama Ray biar bisa pegangin ini juga,” kata Oik sedikit mengangkat miniature rumah mereka, “yuk”.
               Setelah Oik masuk kedalam rumah minta izin pada Rio sekaligus memberitahukan pada Alvin bahwa Cakka ikut serta, mereka langsung pergi. Ray dengan Oik, Cakka sendirian mengikuti mereka dari belakang.
               Perjalanan mereka ternyata tidak lama. Hanya beberapa menit hingga mereka sampai disebuah rumah sakit. Cakka jadi bertanya Tanya dalam hati. Apa adik Oik sedang dirawat disini? Namun ia urung menanyakannya langsung kepada Oik maupun Ray.
               Oik, Ray dan Cakka berjalan beriringan dikoridor rumah sakit tersebut. Hingga mereka tiba disebuah ruang rawat. Oik membuka kenop pintu itu. Bau khas rumah sakit yang awalnya sudah tercium oleh Cakka sejak memasuki bangunan ini,  semakin memenuhi indera penciumannya. Sebuah kamar rawat lengkap dengan televisi dan sofa meskipun bukan ruangan VIP. Diatas ranjang, seorang gadis kecil sedang tenang dalam tidurnya. Sebuah selang menyambungkan tangan gadis itu dengan botol infus.
               “Yah, Zahra bobo,” gumam Oik. Ia mendekati Zahra—gadis kecil itu. Dan meletakkan miniature rumahnya diatas sofa.
               “Zahra sakit apa?” Tanya Cakka ragu, takut dianggap kepo oleh Oik dan Ray.
               “Kita nggak tahu apa namanya. Tapi kata Kak Rio, paru paru Zahra rusak garagara jadi perokok pasif,” kata Ray.
               Perokok pasif? Cakka adalah perokok meskipun tidak setiap hari. Apa saat ia merokok didekat orang lain, orang lain itu kemungkinan akan seperti Zahra gara-gara dirinya? Cakka pun perokok pasif mengingat Riko, Sion dan Septian selalu merokok didekatnya. Bahkan asap yang ia hirup itu berasal dari tiga batang rokok yang berbeda. Apa ia akan seperti Zahra?
               “Zahra udah lamaaaa banget dirawat disini, tapi belum sembuh juga,” wajah Oik jadi murung, “aku dikenalin sama Kak Rio waktu Kak Rio masih magang disini. Kata Kak Rio, Zahra kayak gini gara-gara kakaknya. Kakaknya Zahra tuh pecandu rokok, preman, pemakai narkoba. Pokoknya kacau banget. Orang tua mereka udah meninggal, tapi kakaknya Zahra gak nafkahin Zahra. Kerjaannya judi aja, ngabisin duit. Padahal mereka bukan orang yang mampu. Kadang Zahra juga jadi sasaran kemarahan kakaknya kalau dia kalah judi atau lagi sakaw. Kayaknya kakak Zahra sering banget merokok dideket Zahra sampe akhirnya Zahra gini,” Oik tau-tau terisak. Pelupuk matanya sudah basah hingga dengan sekali kedipan, air mata mengalir dikedua pipinya.
               Ray menepuk pelan pundak Oik dan melanjutkan ceritanya, “suatu hari, tetangga mereka ketemu Zahra pingsan didalam rumah. Muka Zahra babak belur gitu trus langsung dianterin ke rumah sakit ini. Tau tau doker vonis dia sakit apaaaa gitu, gara gara jadi perokok pasif. Ternyata udah cukup lama Zahra punya penyakit itu cuma nggak ada yang tau, mungkin gara gara Zahra gak pernah ngeluhin sakitnya. Atau mungkin juga pernah, Cuma gak direspon kakak nya. Makanya sekarang Zahra dirawat disini dan atas bantuan pemerintah yang diusahain sama tetangganya. Sampe sekarang kakaknya Zahra nggak pernah jengukin Zahra. Oik sayang banget sama Zahra, aku juga. Tapi Oik yang lebih seringjenguk Zahra karena aku sering sibuk sama kegiatan sekola, makanya tadi kita bilang adik nya Oik”.
               Cakka iba. Sangat iba. Bodoh sekali kakak seperti itu, karena perbuatan tak menguntungkan, seorang gadis kecil tiidak berdosa jadi korbannya.
               Perbuatan tak menguntungkan? Maksud Cakka itu adalah merokok, narkoba, mabuk dan judi. Bukankah ia sendiri merokok dan mabuk meski tidak narkoba dan judi. Tapi ia balapan motor dengan taruhan. Apa itu judi juga? Cakka merasa ditampar sangat keras ketika menyadari ia seperti sebuah bibit Kakaknya Zahra.
               Cakka termenung cukup lama. Bagaimana jika suatu saat ia akan mengorbankan seseorang juga karena perbuatannya? Cakka berusaha menghilangkan pikiran itu, sampai akhirnya nada dering dari ponselnya sendiri mengalihkan perhatiannya. Dilayar ponsel canggihnya tertulis nama Sion.
               “Halo, kenapa?” Cakka berjalan keluar ruang rawat Zahra dan duduk dikursi didepannya.
               “Lo dimana? Kita lagi ngumpul di kos Septian. Ada sesuatu yang baru, buruan kesini,”
               “Gue nggak bisa, bro. lagi sibuk,” tolak Cakka sehalus mungkin.
               “Sialan lo, sok sibuk banget,” umpat Sion.
               “Lo pada aja deh,” kata Cakka lalu langsung mematikan sambungan. Ia benar benar sedang malas bertemu mereka.
               Ia melangkah kembali menuju ruang rawat Zahra tanpa mengetahui di kos Septian, ketiga temannya sedang marah padanya. Ada seorang lagi disekitar mereka yang sedang menunggu jawaban Sion, “gimana? Apa kata temen lo? Jadi beli nggak?” tanyanya sembari mengacungkan sebuah plastic berisi bubuk putih dan plastic lainnya berisi cairan dan suntikan.
               “Nggak,” Septian mengibaskan tangannya, “duitnya nggak datang”.
               “Sialan tuh si Cakka,” sahut Riko.

               Sementara dirumah sakit, Cakka mendapati Zahra sudah terbangun dan terlihat sangat senang melihat miniature rumah yang diberikan padanya.
               “Gimana? Sama kan sama rumah impian Zahra?” Tanya Oik.
               “Iya, Kak. Bagus banget. Makasih ya Kak Ray, Kak Oik,” Zahra tersenyum lebar menampilkan gigi gigi kecilnya, lalu memeluk Oik dan Ray bersamaan.
               “Iya dong bagus, kan Kak Ray yang bikin,” Ray menujuk dirinya sendiri dan menjulurkan lidahnya pada Oik.
               “Kak Oik juga bantuin Kak Ray juga tau,” Oik pura-pura cemberut. Matanya lalu tertuju pada Cakka yang tengah tertegun di ambang pintu memerhatikan mereka bertiga, “oh iya. Ada satu orang lagi yang bantuin Kak Oik dan Kak Ray bikin ini buat Zahra”.
               “Kak Rio?” Tanya Zahra.
               Oik menggeleng lalu berjalan menghampiri Cakka. Zahra dengan rasa penasaran memerhatikan Cakka yang masih merupakan orang asing baginya. Oik menarik Cakka mendekati Zahra, “namanya Kak Cakka,” kata Oik.
               Zahra tersenyum lebar dan menjulurkan tangannya pada Cakka, “Hai Kak Cakka, aku Zahra. Kakak ganteng deh,” katanya cepat, lalu tersipu malu membuat Ray, Oik dan Cakka tersenyum geli.
               “Tunggu, tunggu,” Ray melepaskan jabatan tangan Zahra dan Cakka, “kata Zahra Kak Ray cowok paling ganteng. Sekarang berubah nih?”  kata Ray berpura-pura sedih.
               “Yah, Kak Ray, jangan sedih dong. Kak Ray ganteng kok tetap. Tapi yang kedua,” lalu ia tertawa puas setelah merasa berhasil meledek Ray. Mau tidak mau Ray tertawa pula diikuti Cakka dan Oik.
               Sore itu pun dipenuhi dengan canda tawa di ruang rawat Zahra.  Membuat iri siapapun yang melewati ruangan itu dan mendengar keceriaan mereka seolah kebahagiaan mereka tidak ada habisnya.
***
               Hari itu Cakka tengah duduk perpustakaan sekolah saat dari luar Septian, Riko dan Sion rebut meneriakkan namanya dari luar hingga membuat kebisingan hingga Cakka diusir dari perpustakaan.
               “Kenapa sih?” Tanya Cakka gusar. Kelasnya akan ada ulangan harian hari ini dan ia lupa belajar karena kemaren seharian ia pergi kerumah sakit lagi dengan Ray dan Oik. Kemaren adalah kali ketiga ia mengunjungi Zahra.
               “Belajar lo?” Tanya Septian tak yakin.
               “Cabut yuk,” ajak Sion, “lagi pengen minum nih”.
               “Nggak ah, ada ulangan jam terakhir,” tolak Cakka.
               “Ah nggak asik lo Kka, akhir-akhir ini udah jarang ngumpul sama kita-kita,” keluh Riko. Kan sekarang jadi beli minum sama rokok pakai duit sendiri, sambungnya dalam hati.
               “Ntar sore deh gue ke kos nya Septian. Hari ini beneran nggak bisa,” tolak Cakka lagi. Ia yakin hanya dengan membuat janji seperti itu mereka akan pergi.
               “Yaudah. Eh duit dong,” Sion mulai mengeluarkan kalimat andalan nya.
               Karena sudah muak dengan keberadaan mereka, Cakka langsung mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dan masuk kembali kedalam perpustakaan tanpa memedulikan mereka yang tengah bersorak senang sambil meninggalkan perpustakaan.
Pada sore harinya, Cakka benar-benar menepati janjinya. Ia sedang berjalan menuju pintu kos Septian dan baru akan membuka pintunya begitu tiba, namun gerakannya terhenti ketika mendengar ketiga temannya berbincang-bincang didalam sana menyebutkan namanya.
“Cakka kan kaya, nggak beban lah dia ngasih kita duit segitu doang,”
“Iya, bego sih dia. Enak dikadalin. Sekali minta langsung dikasih”.
“Eh ngomong-ngomong mana tuh anak sih? Lama amat”.
“Iyanih, udah ngebet banget beli obat yang kemaren. Kalo aja harganya dua puluh ribu, gausah nunggu dia”.
“Tungguin aja deh, dia nggak pernah ingkar janji kan”
               Lalu yang terdengar hanya bunyi music rock yang sangat keras, dan ikut dinyanyikan oleh mereka. Cakka geram dan mengutuk dirinya sendiri. Memang benar ia sering membelikan mereka rokok dan minuman. Memang benar ia selalu langsung memberikan mereka uang ketika mereka meminta. Dan memang benar ia bego. Bego karena mau maunya dimanfaatkan oleh mereka. Bukan salah mereka, tapi salahnya lah yang dengan mudahnya terjerat oleh mereka. Harusnya ia dulu tidak begitu saja tertarik untuk berteman dengan mereka.
               Cakka membalikkan badannya dan membuat panggilan ke ponsel Sion. Tanpa menunggulama, suara Sion sudah terdengar diseberang telepon.
               “Sorry nih, Yon. Hari ini gue mesti jenguk adik gue dirumah sakit,” katanya tanpa beban.
               “Yaelah, Kka. Sekali doang lo udah jarang banget ngumpul bareng. Nggak asik lo,” suara Sion terdengar sangat kesal. Sayup sayup Cakka mendengar suara lain, “Kampret si Cakka”.
               “Sorry,” kata Cakka lalu ia langsung mematikan sambungan.
               Ia menaiki motornya dan langsung menarik gas menuju rumah sakit tempat Zahra dirawat. Tiba disana, Cakka langsung masuk kedalam kamar Zahra. Namun betapa terkejutnya ia ketika kamar Zahra terlihat kosong. Sosok gadis yang biasanya terbaring di atas kasur sudah tidak ada. Kasur itupun terlihat sudah rapi. Boneka dan sebuah buku dongeng diatas meja pun sudah tak terlihat, begitu pula dengan miniature rumah mereka yang biasanya diletakkan diatas meja lain didekat televisi, semuanya tidak ada. Bersih, rapi, seperti belum dimasuki pasien.
               Tubuh Cakka bergetar, satu persatu keringat keluar dari pori porinya hingga menetes dengan cepat ke lantai.  Apa yang terjadi? Batinnya. Kemaren ia baru saja bermain bersama gadis kecil itu, kemaren ia masih melihat cengiran lucunya. Apa Tuhan secepat ini mengambilnya?
               Seorang suster melewatinya dan langsung ia ccegat. Suster itu terlihat kaget terutama ketika melihat wajah Cakka sangat pucat. Tangan Cakka menunjuk ruang rawat Zahra, “Zahra Damariva, pasien dikamar ini mana?”.
               Suster itu lalu mnghembuskan nafasnya lega karena mengetahui Cakka hanyalah panik, “tidak usah khawatir, Mas. Zahra Damariva sudah kami pindahkan ke ruang anak-anak. Infusnya bahkan sudah dilepas. Saya permisi,”kata suster itu lalu melanjutkan langkahnya.
               Tulang Cakka terasa mati rasa. Ia bersyukur banyak pada Tuhan karena Zaha tidak dalam kondisi yang ia kira. Ia mulai melangkah menuju ruang anak, dimana pasien anak-anak yang sudah keluar dari ruang rawat dipindahkan kesitu untuk kembali bermain dengan sebayanya.
               Tangan Cakka membuka kenop pintu dan langsung terliht beberapa anak sedang duduk mengelilingi seorang suster sementara dibelakang mereka ada beberapa walinya termasuk Ray dan Oik. Melihat kehadiran Cakka, Oik langsung melambai memanggilnya.
               Cakka duduk disebelah Ray memerhatikan anak anak yang sedag serius mendengarkan cerita yang tengah dibacakan suster itu. Sesekali mereka tertawa ketika ada hal lucu dan meringis ketika ada hal yang mengerikan dan menyedihkan.
               “Senang ya liat Zahra gini,” gumam Oik disahut anggukan Cakka dan Ray.
               “Kalau Zahra selama seminggu ini tidak mengalami penurunan, dia boleh pulang,” kata Ray memberitahu Cakka.
               “Pulang kemana?”
               “Panti asuhan didekat rumah Ray. Dia akan tinggal disitu,” jawab Oik.
               Cakka menghela nafas lega. Ia kira Zahra akan dipulangkan kerumahnya lagi. Jika tidak ia akan kembali pada kakak nya yang gila itu. Akan dibuat seperti apa lagi ia oleh kakaknya? Cakka tersenyum saat memandang gadis kecil itu sedang tertawa bersama temannya. Pemandangan yang sangat menyenangkan saat melihat seseorang yang tetap tabah pada kehidupan nya, seseorang yang tetap berusaha mencari kebahagiaannya sendiri. Seseorang yang dapat dengan sabarnya menanahan penyakit yang tidak dibuat olehnya. Ia bahkan tidak pernah terlihat sedih bahkan menangis.
               Cakka lalu teringat pada kehidupannya. Ia memiliki seorang Kakak yang sangat baik. Ia hidup berkecukupan. Tapi ia malah merusak hidupnya dengan berteman pada orang yang salah. Ia merusak tubuhnya dengan sengaja, membuat-buat penyakit. Sangat jahat jika ia menyia-nyiakan hal itu sementara banyak sekali orang yang mengharapkan kesehatan dan membuang penyakit. Cakka lalu bertekad pada dirinya sendiri untuk berubah dan kembali menjadi Cakka yang dulu.
               Cakka lalu menoleh pada Ray dan Oik yang tengah tertawa pada Zahra. Beruntung sekali ia mengenal dua orang itu. Tanpa mereka mungkin Cakka takkan mengenal Zahra dan takkan menyadari betapa bodohnya ia selama ini.  Cakka akan berterima kasih banyak pada Alvin karena telah memperkenalkannya pada Oik dan Ray. Ia akan mengucapkan itu setelah pulang nanti dan sekaligus meminta maaf karena telah menyusahkan Alvin selama ini.

SELESAI.

Komentar