Tanpa Ambisi

Hari itu aku berada di sebuah percakapan tentang tujuan hidup saat aku dan seorang teman melakukan perjalanan yang cukup panjang. Dia adalah seseorang yang punya banyak banget target dalam hidupnya, terutama setelah dia lulus SMA. Ikut berbagai perlombaan karya tulis dan perlombaan non-akademik lainnya.

Sampai akhirnya dia bilang, "Nis, gamau ambil beasiswa buat S2?"

Huwaw, mohon maaf. Sedikitpun ga pernah terbesit mau lanjut S2 atau pendidikan lainnya karena nyelesain S1 aja rasanya sudah bertetesan darah dan keringat, belum lagi pengen banget mengakhiri hidup sebagai anak kos yang sangat tidak sehat dan tidak terurus.

"Aku ga seambis itu, sih" jawabku sambil nyengir.

Tapi setelah pertanyaan itu, aku jadi mikir...

...ini kapan nyampenya ya pegel bener duduk.

Eh, enggak. Bukan itu.

Aku jadi memutar kembali hal-hal yang udah aku lewatin. Selama sekolah, aku adalah anak yang super biasa aja, dari SD aku ga begitu dituntut untuk ikut olimpiade atau perlombaan kecerdasan lainnya atau harus ranking 1. Jadi sejak SD sampai SMA, nilai-nilai di rapot ya sedapetnya aja dan perlombaan pun malah banyak yang main-main macam lomba mading atau lomba PMR. Semacam.. sesantuy itu.


Tahun terakhir di SMA, aku dan teman-temanku mulai sering membahas perkuliahan. Ada yang udah menargetkan jurusan tertentu seperti arsitektur, farmasi, dan jurusan keren lainnya. Ada juga yang udah nargetin kota-kota dan kampus tertentu, atau sekedar ingin keluar pulau. Kemana saja, asal tidak di Kalimantan.

Sementara aku hanya berbekal saran dari mama yang langsung ku iyakan begitu saja, "coba deh jurusan ini kaya tetangga kita, kayanya kerjanya enak," kata mama siang itu, jadilah aku mengambil jurusan tersebut di kampus terdekat dari kota ku.

Ketika orang-orang menentang keinginan orang tuanya yang berbeda dengan keinginan mereka, aku justru bersyukur karena aku nggak dilepasin gitu aja buat nyari-nyari sendiri. Kadang ada rasa takut untuk membuat keputusan kaya... kalau nanti ternyata yang aku pilih ini enggak berjalan mulus, gimana dong?

Kusadari lagi bahwa ketidakambisian ini juga terbentuk karena ketidakpercayaan diri dan ketakutan dalam pengambilan keputusan. Kusadari lagi bahwa aku sekecil itu. Tapi aku menikmati hidup tanpa banyak ambisi dan rencana, just... let it flow. Pernah sesekali aku membuat rencana dalam hidup, menciptakan tujuan yang kurasa seharusnya bisa untuk aku capai.

Awal kuliah aku mencoba mendaftarkan diri di organisasi kampus. Salah satu tujuan yang aku buat ketika masuk kuliah. Aktif di berbagai kegiatan kampus dan punya banyak teman dari berbagai kalangan. Keren, kan.

Lalu aku ditolak.

Ketidakpercayaan diri ku semakin menjadi-jadi. Aku ciut. Seciut itu. Padahal cuma perkara ditolak di organisasi, bukan dikeluarkan dari kampus. Aku sudah menyerah, tapi teman-temanku yang sudah berhasil masuk kala itu mendorongku buat daftar lagi di tahun berikutnya.

Pelan-pelan aku mengumpulkan kepercayaan diri, dan kembali mendaftar. Memasukkan berkas dan wawancara dengan kepercayaan diri yang tersisa. Mungkin karena dipaksakan, aku sempat nangis di sesi awal wawancara, di depan pewawancara. Entah pemicunya apa.

Lalu aku kembali ditolak, hehe.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk jadi mahasiswa kupu-kupu saja tanpa mencoba lagi di tahun berikutnya atau di organisasi lainnya. Sesepele itu tapi rasanya sangat mengecewakan.

Di entah-semester-berapa, aku kembali membuat sebuah tujuan; lulus 3,5 tahun. Aku cukup percaya diri karena sejak semester pertama, nilaiku cukup aman, SKS selalu terpenuhi, dan tidak ada mata kuliah yang tertinggal. Harusnya berjalan dengan mulus. Harusnya.

Sampai akhirnya sebuah kebodohan terjadi dan singkat cerita aku tetap harus sampai semester delapan. Kuhabiskan seharian dengan menangis di kos, benar-benar seharian bahkan sebelumnya rasanya ga pernah semenangis ini, huhu.

Gitulah kalau ambisius tidak tau diri, akhirnya dikecewakan oleh ekspektasi yang ternyata berlebihan. Tapi aku akhirnya tau kalau ini emang rencana terbaik dari Tuhan karena 'keterlambatan' itu mengantarkanku ke tempatku sekarang, and im shOoOOo happy now.

Setiap pencapaian yang sudah aku raih terkadang cukup mengejutkan karena semuanya kujalani tanpa ekspektasi yang berlebihan dan tanpa ambisi kaya.. gue harus lebih baik nih dari si ini. Akhirnya kulewati ujian akhir skripsi dengan sangat lancar, tanpa satupun kekecewaan. Gak bisa jawab pertanyaan penguji, ya yaudah. Berarti kemampuanku emang belum nyampe situ.

Bahkan pernah ada mata kuliah yang gak lulus karena nilainya D. Nyesek, sih. Tapi gimana lagi? Aku emang gak menguasai mata kuliah itu dan, kan, masih ada semester pendek. That's ok. Pada akhirnya aku membiasakan diri untuk berekspektasi sesuai kapasitasku, lulus dengan ipk di atas 3 sudah cukup; gak perlu cumlaude, karena aku sadar nilai-nilaiku tidak setinggi itu. 

Berkali-kali aku bersyukur atas pencapaian dan kegagalan yang sudah kulalui, berkali-kali kuingatkan diriku untuk tidak terlalu tinggi, karena berkat itu, aku menjadi diriku yang sekarang. Secukupnya sesuai porsinya. Meski berkali-kali juga aku terpikir, apakah begini terus tidak apa-apa? Mengingat bahwa hidup tanpa ambisi bukanlah sesuatu yang cukup baik. Tapi yang pasti, aku sudah merasa cukup bahagia dan sangat baik-baik saja sekarang.

Aku percaya, apapunyang terjadi merupakan skenario terbaik dari Tuhan. Sekalipun jatuh dan kecewa, pasti ada sesuatu yang akhirnya bisa disyukuri. Ikutin aja sesuai alurnya, tidak perlu berlari tapi juga jangan pernah berhenti berjalan karena semuanya punya waktunya masing-masing.

Hehe.

Komentar

Posting Komentar